Sabtu, 10 Mei 2008

tentang reformasi


MENGGUGAT REFORMASI, MENYELAMATKAN INDONESIA!
Oleh:Ihab Habudin
Di senjakala 12 Mei, empat mahasiswa demonstran...diembak mati. Dalam kurun waktu dua puluh empat jam berikutnya...kerusuhan biadab yang disertai pembantaian terencana dengan senteimen anti Cina...membuat Jakarta menjadi daerah perang, memaksa Soeharo mengundurkan diri, dan mengubah arah b angsa ini.
Susan Berfield & Dewi Loveard
Sepuluh Hari Yang Mengguncang Indonesia
Asiaweek, 24 Juli 1998

Banyak yan tak menduga, tanggal 21 mei 1998, adalah hari terakhir soeharto berkuasa. Banyak yang tak mengira, bapak pembangunan terjungkal hanya beberapa saat setelah ia kembali ke tampuk kekuasaan. Dan, banyak yang tak memprediksi, penguasa yang telah bercokol selama 32 tahun mengundurkan diri tanpa syarat hanya karena digoyang kurang dari dua pekan.
Itulah reformasi. Titik tolak yang menjadi primadona baru sejarah indonesia. Golliat di tengah angkara keterpurukan bangsa. Romeo di tengah hutan rimba kekusutan negara. Kini, reformasi sudah menjadi referensi utama dalam mengukur kemajuan/kemunduran, keberhasilan/kegagalan, kejujuran/kemunafikan perilaku berbangsa dan bernegara.
Pantaskah kita berharap pada reformasi? Melihat fakta sejarah; puluhan mahasiswa tewas, puluhan aktivis menghilang entah kemana, ratusan wanita kehilangan kehormatan (akibat diperkosa secara massal), ribuan toko dan alat transportasi hangus dibakar, dengan melibatkan tragedi; penculikan, penyiksaan, penjarahan, pemerkosaan dan sadisme yang mengejutkan, sepatutnya bangsa ini berharap, dengan reformasi akan mampu mengalami change and progress.
Untuk itu, ketika reformasi sudah berjalan sembilan tahun, kita terus menanti. Menanti sebuah jawaban atas enam tinta emas agenda reformasi yang mewujud dalam panggung demokrasi, civil society, dan kesejahteraan rakyat. Penantian yang selalu akan menyulut pertanyaan; sejauh manakah reformasi berjalan? Sudahkah bangsa ini mereformasi diri? Sampai kapan kita menani sebuah jawaban itu? Haruskah dua puluh tahun seperti resorasi meiji? Atau tiga puluh tahun ala revolusi China? Atau ‘kapan-kapan’ sebagaimana Koes Plus nyanyikan.
Pertanyaan yang sering kita dengar tatkala reformasi diperingati. Wajar memang. Selain karena reformasi dinilai jalan di tempat, reformasi juga telah menimbulkan berbagai wajah kontradiktif dan inkonsistensi.
Ironi Reformasi
Sejarah reformasi ialah munculnya berbagai wajah negara, masyarakat dan kaum borjuasi. Sifat kontradiktif, standar ganda, inkonsistensi dan nomadisme, ditandati dengan makin popularnya dunia parodi, drama, simbol, mitos, dan fatamorgana makna, menjadi bagian penting prilaku berbangsa dan bernegara telah mencipta ‘manusia-manusia bertopeng’. Dengan berbagai tema, citra, plot dan skrip yang menggiurkan, muncul penguasa-penguasa sok pro rakyat meski tidak merakyat, masyarakat sok nasionalis, padahal primordialis, dan para kapitalis sok penyelamat bangsapadahal tak lebih dari penghancur negara. Cepat atau lambat.
Inilah dunia reformasi indonesia. Dunia yang selalu menuai kontradiksi, disparitas, inkonsistensi, inkompatibiolitas, paradok yang berujung pada absuritas. Di sinilah kita dipertononkan berbagai drama yang selalu menemukan kontradiksinya dengan cita-cita awal reformasi atau pohon-pohon janji oral para penguasa pasca Soeharto sebelum naik ke kursi panas.
Penguasa yang kemarin mengobral asa kepentingan rakyat kini muncul dengan wajah bringas pembohongan publik.penguasa yang dahulu muncul dengan simbolisasi melindungi masyarakat kecil, kini tampak dengan muka penggusuran, pembabatan usaha kecil, pemupukan dan pendirian usaha-usaha asing yang hanya berpihak pada kaum kapitalis. Dan, penguasa yang pagi tadi berorasi atas kepentingan bangsa, kini muncul dengan wajah penjualan asset-asset negara, termasuk lembaga pendidikan.
Yang lebih memprihainkan lagi, reformasi telah memunculkan dunia ironi dalam hal korupsi. Laiknya ingin membuktikan kata-kata John Acton:"the power ten to corrupt", pemerintah dan wakil rakyat di atas sana berlomba-lomba mengeruk uang rakyat ‘atas nama rakyat’. Lalu munculah fwenomena kenaikan gaji dan tunjangan, uang presensi, bagi-bagi lap top dan berbagai proyek lainnya, yang tak lebih hanya memboroskan uang negara.
Demikian halnya, di panggung masyarakat kita mengalami depresi yang luar biasa. Separatisme seperti yang ditengarai JJ Ressaeau sebagai keinginan membentuk masyarakat-masyarakat kecil dengan dalih rasa aman telah menyurutkan semangat nasionalisme. Nafsu syahwat yang melekat dalam berperilaku maju dipraktekan jika dipandang bisa membawa kepentingan daerahnya sendiri lebih kentara di bandirngkan dengan rasa kebersamaan dalam payung nasionalisme. Perubahan dan kemajuan masyarakat yang kemarin kita cita-citakan sama-sama maju, seolah harus mendapat lisensi berdasarkan dia harus berasal dari etnis, kampung, desa, kecamatan, serta daerah gue.jailah, otonomi daerah yang tadinya mengatasnamakan pemerataan tanpa hilangnya spirit nasionalisme telah salah ditafsirkan hingga mengalami disorientasi.
Bagai tak mau ketinggalan kereta, hukum tampak dengan wajah ganda. The role of law dinterpretasi dan dipraktekan dengan hasil yang membingungkan rakyat. Di satu sisi atas nama legislasi, eksekusi hanya mencakup penjahat kerah dekil, hampir tidak menyentuh penjahat kerah putih (baca:kalangan elit politik). Hukuman pada pencuri uang untuk mencari sesuap nasi, penjambret kelas kucel hanya untuk membayari anaknya sekolah, dan penipu karena alasan tak ada lagi lahan pekerjaan, sering kita dengar dan saksikan. Tapi, untuk koruptor yang merugikan ratusan juta hingga triliun-an rupiah tetap saja didakwa:"fan tasiru fil ard". Hukum kita seolah menyahu:"silahkan tuan! Berkeliaranlah di muka bumi, masih banyak tempat sembunyi yang lebih enak dan menyenangkan: ada Inggris, Swiss, Filiphina dan lainnya".
Hukum telah mengalami politisasi. Konstruk berpikir kita dipaksa agar dalam penyelesaian hukum harus melibatkan persoalan pilitik. Jadilah di dalamnya bercampur berbagai kepentingan; ekonomi, sosial, budaya, dan poitik. Hukum tidak lagi hanya menampilkan satu wajah. Hukum telah bermakna ganda antara citra keadilan dan realitas kebenaran. Antara citra kebenaran dengan realitas kebenaran.
Ini menemukan konteksnya pada kasus yang menerpa elit negeri saat ini. Dalam kasus dana non budgeter DKP Rokhmin Dahuri yang melibatkan berbagai elit politik menemukan kebuntuan. Bukan karena kita tidak punya landasan hukum untuk mengeksekusi, melainkan hukum telah dipolitisasi. Mekanisme hukum yang disarankan para politisi dan pengamat politik dengan dalih untuk mengakhiri pertikaian politik dan menjaga kondusifitas negeri, seakan menandakan bahwa mustahil hukum menyentuh kaum elit.
Deviasi hukum terjadi. Para pemimpin kita yang membuat pointer-pointer hukum serta mengesahkannya, nyata-nyata mereka pula yang melanggarnya. Padahal, jauh-jauh haru Sadjipto Rahardjo mengingatkan kita, bahwa hukum tak ada apa-apanya bila tidak didukung perilaku santun dalam hukum. Perilaku yang mengakui persamaan dalam hukum dan tentu juga tidak berkelit bila benar-benar telah berbuat kesalahan.
Lagi. Inilah ironi reformasi indonesia. Kita hidup dalam megeri yang menakutkan; kekerasan, perkosaan, pembunuhan, pembantaian, korupsi, kolusi, nepotisme, sadisme, penipuan, pembohongan publik dan genocide berjalan seolah tanpa henti di tengah maraknya simbolisasi; indonesia bersatu, indonesia bangkit, bersatu membangun bangsa, dan bersama kita bisa.
Upaya Penyelamatan
Berbagai ketimpangan reformasi, meminjam istilah Erric From sudah merupakan bagian dari sindrom. Ia tidak berdiri sendiri melainkan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi. Bisa karena dominasi berlebihan, birokrasi kaku, lemahnya sistem hukum, liberalisasi tanpa batas, dan lain-lain. Perilaku masyarakat yang main hakim sendiri, ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, KKN, dan berbagai kejahatan lain tak bisa dilepaskan dari sistem berbangsa dan bernegara yang dibangun. Termasuk, cara berperilaku dan memperlakukan hukum.
Karena itulah upaya untuk memutus mata rantai berbagai kejahatan tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja. Rakyat tidak akan patuh pada hukum, bila hukum hanya diperuntukan untuk segelintir orang saja. Hukum hanya dijunjung segelintir pencarai keadilan sementara di sisi lain hukum tetap ditaruh di bawah telapak kaki penguasa dan elit-elit politik. Begitu pula, janji-janji oral menyejahterakan rakyat hanya akan tetap berada dalam alam ide bila sistem yang dipakai tetap liberal tanpa batas dengan keuntungan sebesar-besarnya diberikan pada para kapitalis.
Selain itu, nilai-nilai spiritual yang sempat menggema ketika reformasi mencakar langit perlu ditumbuhkan kembali dan dijaga. Sikap anti penjajahan, keberagaman, semangat patriotismew dan kejujuran adalah syarat mutlak di samping perbaikan sistem pendidikan agar memihak pada rakyat. Sistem birokrasi yang memudahkan dan melayani masyarakat civil di samping tanpa meninggalkan sisi ketertibannya. Sistem ekonomi-sosial-budaya-politik yang tak hanya liberalistik-kapitalistik tetapi juga mempunyai sifat transendesi. Karena, sebagaimana dikatakan John Gunn bahwa bencana krisis kemanusiaan dalam sebuah masyarakat erjadi bila ikatan positif atau perekat (social-kultural-spiritual) telah hancur lebur.
Terlebih dari itu, sisem hukum dengan supremasinya sangatlah penting untuk diperhatikan. Sebagaimana sifatnya yang mengatur dan memaksa, hukum semestinya bisa menjadi penjaga gawang dari ancaman kehancuran, sekaligus menjadi pencetak gol kebuntuan penyelesaian tindak kejahatan. Jangan sebaliknya, penegakan hukum malah bermain dalam koridor teaching order finding disoder( dalam hukum, kita menemukan pelajaran untuk teratur tapi dalam realitasnya kita menemukan ketidakteraturan).
Penulis adalah Anggota HMI Komisariat Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta