Sabtu, 10 Mei 2008

pendidikan


KELUAR DARI PENJARA PENDIDIKAN
Sebuah Ijtihad Rekonstruksi Pemikiran
Oleh: Afif Wahyudi

Pendidikan itu Suci.
Ia Memiliki Kuasa Sakramental dalam Rahimnya.
Ia mampu Menyntuh Sisi Terdalam Kehidupan Manusia dan Mentransformasikannya.
Dosa terbesar dari Institusi Pendidikan adalah Mengaborsi Kesucian dari Rahim Pendidikan.
(Mutiara Andalas: 2007)

Sekitar delapan dekade yang lalu Mohandas K. Ghandi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari "tujuh dosa sosial": politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, sains tanpa humanitas, peribadatan tanpa pengorbanan, dan pendidikan tanpa karakter. Ketujuh dosa sosial yang telah menjadi warna dasar kehidupan kita. Politicum horrobilum (budaya kekerasan dalam politik) yang berpijak pada nomadisme politik (berpolitik atas kepentingan dan keuntungan pribadi/golongan), the power tend to corrupt (berkuasa untuk berkorupsi), kehidupan kapitalisme-liberalisme yang mengenyahkan kaum terpinggirkan, hedonisme, penggunaan teknologi tanpa moralitas, pengabsahan kekerasan atas nama agama, hingga pendidikan yang carut-marut penghasil penjahat ‘kerah putih’telah menjadi santapan mata kita sehari-hari.
Khusus untuk yang terakhir ditengarai Ghandi sebagai tujuh dosa sosial yang mematikan itu (baca: pendidikan tanpa karakter) tampaknya bukan ungkapan gombal laik tong kosong nyaring bunyinya. Meskipun sekolah telah mencapai 243.254. Pendidikan di negeri ini tampak tidak punya karakter dan tidak mampu membangun karakter bangsa. Kalaupun ada itu karena sifatnya yang kapitalistik-liberalistik. Lihat saja kebijakan pendidikan kita yang sepanjang sejarah belum pernah konsisten dengan konsitusi bahwa anggaran pendidikan harus 20 persen. Faktanya, hingga kini anggaran itu tertahan di angka sebelas persen. Pun, dengan keinginan pemerintah yang hendak menjadikan lembaga pendidikan menjadi BHP dengan pihak asing bisa menanam saham hingga 49 persen aalah sebagian bukti bahwa orientasi pendidikan kita tidak mencerminkan kareakter bangsa yang pancasilais melainkan kapitalistik-liberalistik. Pendidikan telah menjelma sebagai institusi yang sarat dengan kepentingan ekonomi dan kekuasaan dari pada peneguhan eksistensi manusia.

Dari sistem pengelolaannya, Entah itu TK atau PT, pendidikan hanyalah pabrikasi manusia-manusia robot. Bagaikan hidup diterali besi. Para siswa di indonesia harus mendekan dalam gedung sekolah berjam-jam. Muram menanggung beban akademika-pragmatika. Mengepul di otak-otak mereka kekakuan karena dituntut untuk segera dewasa. Segera kerja dan mencari uang. Mereka tak pernah mengenal lingkungannya. Apalagi peduli. Meski realitas disekelilingnya bobrok, hancur, kritis, mengenaskan. "Sekolah tidak lebih dari penjara yang mengasingkan mereka dari realitas dunia" kata Agustinus Mintara. "sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Sekolah telah mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan (schwarzer padagogik)" kata Kurt Singer.
Setelah lama memakan bangku sekolah. Terciptalah sesosok manusia pragmatis yang mencari-cari ruang-waktu kehidupan duniawi untuk dirinya/golongannya saja. Manusia-manusia pemuja mekanika yang krisis kepekaan sosial. Kuntowijiyo menggelari manusia-manusia seperi ini hanyalah sebagai bagian kecil dari mesin raksasa, mesin raksasa teknologi. Bukan karena manusia tidak mempunyai pencapaian tetapi karena miskinnya moralitas. Bukan karena tidak adanya progresifitas melainkan karena hampanya spiritualitas. Dan bukan hanya karena kekurangan sarjana melainkan karena degradasi kepedulian sosial.
Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan. Terlebih, pendidikan mempunyai peran yang sangat besar (untuk idak mengatakan semuanya) dalam mencetak manusia-manusia ‘unggul’ sebagai akor penggerak terciptanya tatanan masyarakat yang madani. Masyarakat baru yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, demokratis berkeadaban (democratic civilivy) yang menghargai perbedaan pendapat, menjunjung tinggi HAM dan egalitarianisme, tertib dan sadar hukum, memiliki semangat, keahlian, kompetitif, namun tetap mempunyai semangat solidaritas kemanusiaan universal, menjunjung tinggi nilai nilai luhur, serta masyarakat yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat dan unuk masyarakat (Azyumardi Azra:2004).
Tampaklah bahwa pendidikan saat ini idak menjadi instrumen yang membebaskan dari masalah negeri ini melainkan juga sebagai satu masalah yang menuntut cepat diselesaikan. Menuntut segera karena melalui pendidikan lah aktor-aktor negeri ini keluar dan menentukan arah bangsa. Orang-orang pintar yang sering kita sebut sebagai ‘itnelektualis’ itu juga muncul dari pendidikan. Maka, apa yang mesti diperbaharui dalam pendidiakan kita sehingga tujuan pendidikan yang mampu menemukan hakikat manusia dan mengangkatnya kepermukaan itu bisa tercapai?
Rekonsruksi Paradigma Pendidikan
Mengikuti alur logikanya Thomas Kuhn, pendidikan kita saat ini berjalan bukan suatu proses evolusi yang mendadak bim salabim abah kadabrah tercipta begitu saja melainkan berdiri di atas bangunan suatu paradigma atau cara pandang /kerangka berpikir terhadap dunia. Begitu pula dengan pendidikan kita yang berdiri di atas paradigma konservativisme di satu sisi dan paradigma kapitalisme-liberalisme di sisi lain.
Hal ini dapat kita telaah dari dua sisi. Dari segi pengajaran cenderung masih memakai pendekatan konservatif. Dalam kerangka ini berlaku konvensionalisme bahwa pendidikan yang berkelindan di dalamnya murid, guru, kurikulum. Menempatkan guru sebagai subjek. Murid sebagai objek. Dan kurikulum sebagai mediasi guru dalam menyampaikan pelajaran secara top down, monolog atau satu arah. Melalui pendekatan konservatif inilah sistem pengajaran kita masih jalan di tempat. Sampai kini, siswa masih ditempatkan sebagai seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan sementara gurunya dianggap mengetahui segala-galanya. Siswa hanya ditempatkan sebagai ember penampung yang pasif untuk senantiasa menerima kucuran air pelajaran yang melelahkan dan kadang tidak bermanfaat Karena tidak menyentuh realitas sosial yang dihadapinya.
Dalam Pedagogy of the Opressed-nya Paulo Freire menyebut model pendidikan seperti ini sebagai banking eduction. Model pendidikan yang tidak kritis yang diarahakan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Siswa dibawa kealam ilusi pendidikan untuk asyik didalamnya mengotak-atik normativitas yang sering jauh dari realitas kehidupan sehari-hari. Al hasil, menurut Freire, pendidikan seperti arena pertarungan antara penindas (guru) dan tertindas (siswa) yang hanya akan menghasilkan apa yang disebutnya dengan "kebudayaan diam" yang melekat padanya ketidaksadaran historis (historical anesthesia). Disinilah terjadi kolonialisasi.
Meskipun Freire dikritik terlalu mendikotomi antara penindas dan tertindas yang ditengarai banyak pihak sudah tidak relevan lagi. Menurut saya meski dengan bentuk yang berbeda kolonialisasi itu hingga kini terjadi. Kita bisa melihat dari pendekatan Foucault berkaitan dengan geneologi pengetahuannya. Dengan ungkapan terkenalnya Foucault mengatakan:"the will to know the will to power". Aritinya; setelah tahu dan pengetahuan itu dibuat, ditransformasikan tanpa daya kritis akan menjadi hal yang menguasai atau menjajah.
Dalam konteks ini, bila siswa tidak diajarkan untuk kritis atau setidaknya diberi kebebasan untuk berdialog mengutarakan pengalaman sosialnya, bagaimana mungkin akan muncul siswa yang sadar dan kritis. Indoktrinasi terjadi dan kekerasan simbol menjadi hal yang sangat mungkin. Bila ini menjadi kenyataan, maka teori Juques Lacan-lah yang mengatakan bahwa manusia semakin besar semakin tidak sadar. Dan teori Simund Frued yang menegaskan bahwa semakin besar manusia semakin sadar runtuh. Pendidikan kemudian lebih tampak sebagai penjara daripada sebagai rumah kedua. Didalamnya penuh aturan yang menyesakan dengan sedikit kelonggaran dan kebebasan. Hasilnya, eksistensi manusia menjadi sangat tercerabut.
Model pendidikan seperti ini tentu saja tidak sesuai dengan arah utama pendidikan yang seharusnya memberikan upaya pemberian peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan potensi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Kegiatan pendidikan sebisa mungkin seharusnya menghindarkan dari perihal indokrinasi. Pendidikan seharusnya membebaskan dan memerdekakan. Karena kebebasan dan kemerdekaan yang beretika dalam islam pun merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia yang lahir ke dunia.
Bagaimana menjadikan pendidikan yang membebaskan? Pertama-tama harus diketahui bahwa pendidikan kaitannya dengan realitas sosial tidak ada yang netral. Pengelolaan penididikan dimanapun itu selalu terkait dengan pelaku pendidikan yang juga bagian dari realitas sosial. Konstruksi pendidikan pun akhirnya tidak muncul begitu saja. Sebagaimana disebukan di atas, pendidikan berdiri di atas paradigma yang dipakai.
Untuk itu dalam merubah konsruksi pendidikan yang mengekang sekarang ini diperlukan pembongkaran paradigma terlebih dahulu untuk kemudian merekonsruksinya. Saya kira alat analisis Jacques Derrida tentang dekonsruksi dapat diterapkan di sini. Dalam berbagai karyanya derrida menandaskan perlunya pembongkaran semua teks. Teks apapun, termasuk pendidikan. Pendidikan yang telah lekat di dalamnya konservatisme dan kapitalisme-liberalisme perlu dibongkar dan dijungkir balikan. Bila yang tainya guru menjadi icon satu-satunya dan paling berpengaruh dan modal-persaingan bebas menjadi panglima, maka kini-mengikuti Derrida-harus di balik murid yang semestinya menjadi icon dan masyarakat terpinggirkan menjadi panglima.
Cukupkah sampai di sini? Jawabannya: Tidak. Karena bila demikian halnya, sama saja terjadi ketimpangan dimana guru menjadi tidak berharga dan modal serta kompetisi menjadi tidak berguna sama sekali. Padahal keduanya juga elemen penting yang membentuk tatanan dalam prosesi pendidikan. Untuk mengatasinya Derrida melanjutkan. Setelah membongkar dan mebalikan yang berguna untuk mengetahui sisi lain secara komprehensif maka selanjutnya diperlukan konstruksi ulang atau yang sering kita sebut rekonstuksi dengan memberi alternatif pada keimpangan itu agar bisa berjalan dengan sejajar.
Bila dikontekskan dalam prosesi pendidikan dari Analisa Derrida ini kita mendapakan seharusnya guru dan murid diposisikan sebagai partnership. Meskipun guru mempunyai pengetahuan tinggi tetap ia harus menghargai siswanya. Jurgen Habermas menandaskan agar adanya dialog antar keduanya bahkan dalam perkara apa pun.
Ini pula yang dilakukan pertama kali oleh Paulo Freire. Pendidikan menurutnya haruslah membuat anak didik sadar siapa dirinya dan bagaimana hubungan dirinya dengan dunia luarnya. Untuknya, pendidik dan siswa ditempatkan sama-sama sebagai subjek yang bersifat dialogis. Termasuk dalam menunjukan realitas sebenarnya tentang kondisi sosial. Karena bagi Freire pendidikan sejatinya untuk penyadaran akan kondisi keterjajahan untuk kemudian melakukan perubahan sosial. Freire yakin bila anak didik sudah sadar akan dirinya dan hubungannya dengan realitas sosialnya ia akan melakukan perubahan di lingkungannya unuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Tampaklah di sini Freire termasuk golongan kritisisme/rekonstruksionisme dalam ideologi pendidikan yang memandang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya rekonstruksi sosial. Mereka menghendaki adanya perubahan struktur sosial, ekonomi, politik maupun pendidikan melalui pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai wahana transformasi ide menuju tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi.
Berkaitan dengan sistem kapitalisme-liberalisme dalam pendidikan Freire tidak menutup mata. Bagi Freire pendidikan dalam semua segi harus berpihak pada kaum yang tertindak. Ini sejalan dengan paradigma pendidikan dalam islam dimana pendidikan adalah hak semua orang. Semua muslim dituntut untuk berpendidikan. Iulah mengapa dalam surat al-Mujadalah orang yang berilmu mendapat derajat lebih. Maka, apa pun bentuknya, entah itu BHP atau yang lainnya yang menutup atau menghalangi semua kalangan (miskin/kaya) tidak bisa berpendidikan tidak bisa dibenarkan.
B.A. Risakotta menjelaskan pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan ini dengan sepuluh ponter penting; Pertama, pendidikan seharusnya berdasarkan komitmen yang berpihak kepada orang miskin. Kedua, pendidikan harus kritis terhadap status quo. Ketiga, pendidikan harus mampu membangunkan kesadaran akan masalah sosial. Keempat, pendidikan harus mampu mengangkat persoalan perjuangan kelas. Kelima, pendidikan seharusnya bersifat dialogis yang menghargai pengalaman pelajar. Keenam, pendidikan harus menghormati perbedaan pendapat. Ketujuh, pendidikan harus mampu menrasformasikan masalah-masalah global. Kedelapan, pendidikan untuk pembebasan. Kesembilan, pendidikan kreatif. Dan, kesepuluh, pendidikan yang dijalankan berdasarkan iman, pengharapan dan kasih sayang.
Cukupkah kita mendasarkan logika pendidikan kita pada Freire dan memakai analisanya pada Derrida. Sebagai seorang muslim tentu belumlah cukup. Menurut saya islam mendasarkan konsep pendidikannya pada dua tugas utama sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Meskipun konsep pendidikan Freire mendekati namun tidak terdapat tr ansendesnsi dalam konsepsinya. Dalam islam pendidikan tidak muncul sebagai rekayasa sisial melainkan juga sebagai bagian iman (transendensi) penghambaan kepada dzat yang maha sempurna yaitu Allah SWT. Untuk itu, paradigma yang dipakai adalah humanisme-teosentris.
Dalam kerangka inilah pendidikan islam mestinya bersifat integral komprehensif dan moral-etik. Ia tidak mendasarkan hanya pada asumsi realitas sosial berupa komodernan, kemiskinan, dsb melainkan juga sebagai tuntutan moral-etik sebagai seorang muslim yang tujuan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Untuk itu, dalam praktik pendidikan islam idak hanya dialogis misalnya melainkan juga unsur dialogis itu di dasarkan atas kewajiban seorang muslim yang harus menghormati orang lain. Memanusiakan sesama manusia.
Akhirnya, paradigma pendidikan yang semula berdiri kokoh diantara kubangan konservatisme dan liberalme-kapitalisme harus diubah (direkonstruksi) menjadi pendidikan kritis-dialogis yang membebaskan dari segala penjajahan baik itu melalui sistem maupun model pengajarannya. Tanpa itu semua penidikan akan sama seperti gedung pengasingan para durjana yaitu penjara. Kita harus keluar dari konsepsi itu dan kembali dengan tawaran revolusi pemikiran pendidikan yang membebaskan, memerdekakan, memihak pada kaum tertindas demi terciptanya masyarakat madani yang telah diurai secara singkat di atas.
Daftar Pustaka
Http://npsn.jardiknas.org/cont/data_statistik/index.php. Diakses 08 februari 2008.
Basis No:07-08/56/2007
_______, No: 01-02/50/2001
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIRPRESS, 1993.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosenris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonsruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.
Paulo Freire, Pendidikan Kaum tertindas, alih bahasa oleh:Tim redaksi asosiasi pemandu latihan (utomo dananjaya, Mansor Fakih, Roem Topatimasang, dan Jimly Asshidiqie), Jakarta: LP3ES, 1985.
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, cet. Ke-4, alih bahasa: Agung Prihantoro, Fuad Arif Purdiaranto, Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2007.
Yasraf A. Piliang, Transpoliika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

tentang reformasi


MENGGUGAT REFORMASI, MENYELAMATKAN INDONESIA!
Oleh:Ihab Habudin
Di senjakala 12 Mei, empat mahasiswa demonstran...diembak mati. Dalam kurun waktu dua puluh empat jam berikutnya...kerusuhan biadab yang disertai pembantaian terencana dengan senteimen anti Cina...membuat Jakarta menjadi daerah perang, memaksa Soeharo mengundurkan diri, dan mengubah arah b angsa ini.
Susan Berfield & Dewi Loveard
Sepuluh Hari Yang Mengguncang Indonesia
Asiaweek, 24 Juli 1998

Banyak yan tak menduga, tanggal 21 mei 1998, adalah hari terakhir soeharto berkuasa. Banyak yang tak mengira, bapak pembangunan terjungkal hanya beberapa saat setelah ia kembali ke tampuk kekuasaan. Dan, banyak yang tak memprediksi, penguasa yang telah bercokol selama 32 tahun mengundurkan diri tanpa syarat hanya karena digoyang kurang dari dua pekan.
Itulah reformasi. Titik tolak yang menjadi primadona baru sejarah indonesia. Golliat di tengah angkara keterpurukan bangsa. Romeo di tengah hutan rimba kekusutan negara. Kini, reformasi sudah menjadi referensi utama dalam mengukur kemajuan/kemunduran, keberhasilan/kegagalan, kejujuran/kemunafikan perilaku berbangsa dan bernegara.
Pantaskah kita berharap pada reformasi? Melihat fakta sejarah; puluhan mahasiswa tewas, puluhan aktivis menghilang entah kemana, ratusan wanita kehilangan kehormatan (akibat diperkosa secara massal), ribuan toko dan alat transportasi hangus dibakar, dengan melibatkan tragedi; penculikan, penyiksaan, penjarahan, pemerkosaan dan sadisme yang mengejutkan, sepatutnya bangsa ini berharap, dengan reformasi akan mampu mengalami change and progress.
Untuk itu, ketika reformasi sudah berjalan sembilan tahun, kita terus menanti. Menanti sebuah jawaban atas enam tinta emas agenda reformasi yang mewujud dalam panggung demokrasi, civil society, dan kesejahteraan rakyat. Penantian yang selalu akan menyulut pertanyaan; sejauh manakah reformasi berjalan? Sudahkah bangsa ini mereformasi diri? Sampai kapan kita menani sebuah jawaban itu? Haruskah dua puluh tahun seperti resorasi meiji? Atau tiga puluh tahun ala revolusi China? Atau ‘kapan-kapan’ sebagaimana Koes Plus nyanyikan.
Pertanyaan yang sering kita dengar tatkala reformasi diperingati. Wajar memang. Selain karena reformasi dinilai jalan di tempat, reformasi juga telah menimbulkan berbagai wajah kontradiktif dan inkonsistensi.
Ironi Reformasi
Sejarah reformasi ialah munculnya berbagai wajah negara, masyarakat dan kaum borjuasi. Sifat kontradiktif, standar ganda, inkonsistensi dan nomadisme, ditandati dengan makin popularnya dunia parodi, drama, simbol, mitos, dan fatamorgana makna, menjadi bagian penting prilaku berbangsa dan bernegara telah mencipta ‘manusia-manusia bertopeng’. Dengan berbagai tema, citra, plot dan skrip yang menggiurkan, muncul penguasa-penguasa sok pro rakyat meski tidak merakyat, masyarakat sok nasionalis, padahal primordialis, dan para kapitalis sok penyelamat bangsapadahal tak lebih dari penghancur negara. Cepat atau lambat.
Inilah dunia reformasi indonesia. Dunia yang selalu menuai kontradiksi, disparitas, inkonsistensi, inkompatibiolitas, paradok yang berujung pada absuritas. Di sinilah kita dipertononkan berbagai drama yang selalu menemukan kontradiksinya dengan cita-cita awal reformasi atau pohon-pohon janji oral para penguasa pasca Soeharto sebelum naik ke kursi panas.
Penguasa yang kemarin mengobral asa kepentingan rakyat kini muncul dengan wajah bringas pembohongan publik.penguasa yang dahulu muncul dengan simbolisasi melindungi masyarakat kecil, kini tampak dengan muka penggusuran, pembabatan usaha kecil, pemupukan dan pendirian usaha-usaha asing yang hanya berpihak pada kaum kapitalis. Dan, penguasa yang pagi tadi berorasi atas kepentingan bangsa, kini muncul dengan wajah penjualan asset-asset negara, termasuk lembaga pendidikan.
Yang lebih memprihainkan lagi, reformasi telah memunculkan dunia ironi dalam hal korupsi. Laiknya ingin membuktikan kata-kata John Acton:"the power ten to corrupt", pemerintah dan wakil rakyat di atas sana berlomba-lomba mengeruk uang rakyat ‘atas nama rakyat’. Lalu munculah fwenomena kenaikan gaji dan tunjangan, uang presensi, bagi-bagi lap top dan berbagai proyek lainnya, yang tak lebih hanya memboroskan uang negara.
Demikian halnya, di panggung masyarakat kita mengalami depresi yang luar biasa. Separatisme seperti yang ditengarai JJ Ressaeau sebagai keinginan membentuk masyarakat-masyarakat kecil dengan dalih rasa aman telah menyurutkan semangat nasionalisme. Nafsu syahwat yang melekat dalam berperilaku maju dipraktekan jika dipandang bisa membawa kepentingan daerahnya sendiri lebih kentara di bandirngkan dengan rasa kebersamaan dalam payung nasionalisme. Perubahan dan kemajuan masyarakat yang kemarin kita cita-citakan sama-sama maju, seolah harus mendapat lisensi berdasarkan dia harus berasal dari etnis, kampung, desa, kecamatan, serta daerah gue.jailah, otonomi daerah yang tadinya mengatasnamakan pemerataan tanpa hilangnya spirit nasionalisme telah salah ditafsirkan hingga mengalami disorientasi.
Bagai tak mau ketinggalan kereta, hukum tampak dengan wajah ganda. The role of law dinterpretasi dan dipraktekan dengan hasil yang membingungkan rakyat. Di satu sisi atas nama legislasi, eksekusi hanya mencakup penjahat kerah dekil, hampir tidak menyentuh penjahat kerah putih (baca:kalangan elit politik). Hukuman pada pencuri uang untuk mencari sesuap nasi, penjambret kelas kucel hanya untuk membayari anaknya sekolah, dan penipu karena alasan tak ada lagi lahan pekerjaan, sering kita dengar dan saksikan. Tapi, untuk koruptor yang merugikan ratusan juta hingga triliun-an rupiah tetap saja didakwa:"fan tasiru fil ard". Hukum kita seolah menyahu:"silahkan tuan! Berkeliaranlah di muka bumi, masih banyak tempat sembunyi yang lebih enak dan menyenangkan: ada Inggris, Swiss, Filiphina dan lainnya".
Hukum telah mengalami politisasi. Konstruk berpikir kita dipaksa agar dalam penyelesaian hukum harus melibatkan persoalan pilitik. Jadilah di dalamnya bercampur berbagai kepentingan; ekonomi, sosial, budaya, dan poitik. Hukum tidak lagi hanya menampilkan satu wajah. Hukum telah bermakna ganda antara citra keadilan dan realitas kebenaran. Antara citra kebenaran dengan realitas kebenaran.
Ini menemukan konteksnya pada kasus yang menerpa elit negeri saat ini. Dalam kasus dana non budgeter DKP Rokhmin Dahuri yang melibatkan berbagai elit politik menemukan kebuntuan. Bukan karena kita tidak punya landasan hukum untuk mengeksekusi, melainkan hukum telah dipolitisasi. Mekanisme hukum yang disarankan para politisi dan pengamat politik dengan dalih untuk mengakhiri pertikaian politik dan menjaga kondusifitas negeri, seakan menandakan bahwa mustahil hukum menyentuh kaum elit.
Deviasi hukum terjadi. Para pemimpin kita yang membuat pointer-pointer hukum serta mengesahkannya, nyata-nyata mereka pula yang melanggarnya. Padahal, jauh-jauh haru Sadjipto Rahardjo mengingatkan kita, bahwa hukum tak ada apa-apanya bila tidak didukung perilaku santun dalam hukum. Perilaku yang mengakui persamaan dalam hukum dan tentu juga tidak berkelit bila benar-benar telah berbuat kesalahan.
Lagi. Inilah ironi reformasi indonesia. Kita hidup dalam megeri yang menakutkan; kekerasan, perkosaan, pembunuhan, pembantaian, korupsi, kolusi, nepotisme, sadisme, penipuan, pembohongan publik dan genocide berjalan seolah tanpa henti di tengah maraknya simbolisasi; indonesia bersatu, indonesia bangkit, bersatu membangun bangsa, dan bersama kita bisa.
Upaya Penyelamatan
Berbagai ketimpangan reformasi, meminjam istilah Erric From sudah merupakan bagian dari sindrom. Ia tidak berdiri sendiri melainkan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi. Bisa karena dominasi berlebihan, birokrasi kaku, lemahnya sistem hukum, liberalisasi tanpa batas, dan lain-lain. Perilaku masyarakat yang main hakim sendiri, ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, KKN, dan berbagai kejahatan lain tak bisa dilepaskan dari sistem berbangsa dan bernegara yang dibangun. Termasuk, cara berperilaku dan memperlakukan hukum.
Karena itulah upaya untuk memutus mata rantai berbagai kejahatan tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja. Rakyat tidak akan patuh pada hukum, bila hukum hanya diperuntukan untuk segelintir orang saja. Hukum hanya dijunjung segelintir pencarai keadilan sementara di sisi lain hukum tetap ditaruh di bawah telapak kaki penguasa dan elit-elit politik. Begitu pula, janji-janji oral menyejahterakan rakyat hanya akan tetap berada dalam alam ide bila sistem yang dipakai tetap liberal tanpa batas dengan keuntungan sebesar-besarnya diberikan pada para kapitalis.
Selain itu, nilai-nilai spiritual yang sempat menggema ketika reformasi mencakar langit perlu ditumbuhkan kembali dan dijaga. Sikap anti penjajahan, keberagaman, semangat patriotismew dan kejujuran adalah syarat mutlak di samping perbaikan sistem pendidikan agar memihak pada rakyat. Sistem birokrasi yang memudahkan dan melayani masyarakat civil di samping tanpa meninggalkan sisi ketertibannya. Sistem ekonomi-sosial-budaya-politik yang tak hanya liberalistik-kapitalistik tetapi juga mempunyai sifat transendesi. Karena, sebagaimana dikatakan John Gunn bahwa bencana krisis kemanusiaan dalam sebuah masyarakat erjadi bila ikatan positif atau perekat (social-kultural-spiritual) telah hancur lebur.
Terlebih dari itu, sisem hukum dengan supremasinya sangatlah penting untuk diperhatikan. Sebagaimana sifatnya yang mengatur dan memaksa, hukum semestinya bisa menjadi penjaga gawang dari ancaman kehancuran, sekaligus menjadi pencetak gol kebuntuan penyelesaian tindak kejahatan. Jangan sebaliknya, penegakan hukum malah bermain dalam koridor teaching order finding disoder( dalam hukum, kita menemukan pelajaran untuk teratur tapi dalam realitasnya kita menemukan ketidakteraturan).
Penulis adalah Anggota HMI Komisariat Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta