KELUAR DARI PENJARA PENDIDIKAN
Sebuah Ijtihad Rekonstruksi Pemikiran
Oleh: Afif Wahyudi
Pendidikan itu Suci.
Ia Memiliki Kuasa Sakramental dalam Rahimnya.
Ia mampu Menyntuh Sisi Terdalam Kehidupan Manusia dan Mentransformasikannya.
Dosa terbesar dari Institusi Pendidikan adalah Mengaborsi Kesucian dari Rahim Pendidikan.
(Mutiara Andalas: 2007)
Sekitar delapan dekade yang lalu Mohandas K. Ghandi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari "tujuh dosa sosial": politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, sains tanpa humanitas, peribadatan tanpa pengorbanan, dan pendidikan tanpa karakter. Ketujuh dosa sosial yang telah menjadi warna dasar kehidupan kita. Politicum horrobilum (budaya kekerasan dalam politik) yang berpijak pada nomadisme politik (berpolitik atas kepentingan dan keuntungan pribadi/golongan), the power tend to corrupt (berkuasa untuk berkorupsi), kehidupan kapitalisme-liberalisme yang mengenyahkan kaum terpinggirkan, hedonisme, penggunaan teknologi tanpa moralitas, pengabsahan kekerasan atas nama agama, hingga pendidikan yang carut-marut penghasil penjahat ‘kerah putih’telah menjadi santapan mata kita sehari-hari.
Khusus untuk yang terakhir ditengarai Ghandi sebagai tujuh dosa sosial yang mematikan itu (baca: pendidikan tanpa karakter) tampaknya bukan ungkapan gombal laik tong kosong nyaring bunyinya. Meskipun sekolah telah mencapai 243.254. Pendidikan di negeri ini tampak tidak punya karakter dan tidak mampu membangun karakter bangsa. Kalaupun ada itu karena sifatnya yang kapitalistik-liberalistik. Lihat saja kebijakan pendidikan kita yang sepanjang sejarah belum pernah konsisten dengan konsitusi bahwa anggaran pendidikan harus 20 persen. Faktanya, hingga kini anggaran itu tertahan di angka sebelas persen. Pun, dengan keinginan pemerintah yang hendak menjadikan lembaga pendidikan menjadi BHP dengan pihak asing bisa menanam saham hingga 49 persen aalah sebagian bukti bahwa orientasi pendidikan kita tidak mencerminkan kareakter bangsa yang pancasilais melainkan kapitalistik-liberalistik. Pendidikan telah menjelma sebagai institusi yang sarat dengan kepentingan ekonomi dan kekuasaan dari pada peneguhan eksistensi manusia.
Dari sistem pengelolaannya, Entah itu TK atau PT, pendidikan hanyalah pabrikasi manusia-manusia robot. Bagaikan hidup diterali besi. Para siswa di indonesia harus mendekan dalam gedung sekolah berjam-jam. Muram menanggung beban akademika-pragmatika. Mengepul di otak-otak mereka kekakuan karena dituntut untuk segera dewasa. Segera kerja dan mencari uang. Mereka tak pernah mengenal lingkungannya. Apalagi peduli. Meski realitas disekelilingnya bobrok, hancur, kritis, mengenaskan. "Sekolah tidak lebih dari penjara yang mengasingkan mereka dari realitas dunia" kata Agustinus Mintara. "sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Sekolah telah mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan (schwarzer padagogik)" kata Kurt Singer.
Setelah lama memakan bangku sekolah. Terciptalah sesosok manusia pragmatis yang mencari-cari ruang-waktu kehidupan duniawi untuk dirinya/golongannya saja. Manusia-manusia pemuja mekanika yang krisis kepekaan sosial. Kuntowijiyo menggelari manusia-manusia seperi ini hanyalah sebagai bagian kecil dari mesin raksasa, mesin raksasa teknologi. Bukan karena manusia tidak mempunyai pencapaian tetapi karena miskinnya moralitas. Bukan karena tidak adanya progresifitas melainkan karena hampanya spiritualitas. Dan bukan hanya karena kekurangan sarjana melainkan karena degradasi kepedulian sosial.
Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan. Terlebih, pendidikan mempunyai peran yang sangat besar (untuk idak mengatakan semuanya) dalam mencetak manusia-manusia ‘unggul’ sebagai akor penggerak terciptanya tatanan masyarakat yang madani. Masyarakat baru yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, demokratis berkeadaban (democratic civilivy) yang menghargai perbedaan pendapat, menjunjung tinggi HAM dan egalitarianisme, tertib dan sadar hukum, memiliki semangat, keahlian, kompetitif, namun tetap mempunyai semangat solidaritas kemanusiaan universal, menjunjung tinggi nilai nilai luhur, serta masyarakat yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat dan unuk masyarakat (Azyumardi Azra:2004).
Tampaklah bahwa pendidikan saat ini idak menjadi instrumen yang membebaskan dari masalah negeri ini melainkan juga sebagai satu masalah yang menuntut cepat diselesaikan. Menuntut segera karena melalui pendidikan lah aktor-aktor negeri ini keluar dan menentukan arah bangsa. Orang-orang pintar yang sering kita sebut sebagai ‘itnelektualis’ itu juga muncul dari pendidikan. Maka, apa yang mesti diperbaharui dalam pendidiakan kita sehingga tujuan pendidikan yang mampu menemukan hakikat manusia dan mengangkatnya kepermukaan itu bisa tercapai?
Rekonsruksi Paradigma Pendidikan
Mengikuti alur logikanya Thomas Kuhn, pendidikan kita saat ini berjalan bukan suatu proses evolusi yang mendadak bim salabim abah kadabrah tercipta begitu saja melainkan berdiri di atas bangunan suatu paradigma atau cara pandang /kerangka berpikir terhadap dunia. Begitu pula dengan pendidikan kita yang berdiri di atas paradigma konservativisme di satu sisi dan paradigma kapitalisme-liberalisme di sisi lain.
Hal ini dapat kita telaah dari dua sisi. Dari segi pengajaran cenderung masih memakai pendekatan konservatif. Dalam kerangka ini berlaku konvensionalisme bahwa pendidikan yang berkelindan di dalamnya murid, guru, kurikulum. Menempatkan guru sebagai subjek. Murid sebagai objek. Dan kurikulum sebagai mediasi guru dalam menyampaikan pelajaran secara top down, monolog atau satu arah. Melalui pendekatan konservatif inilah sistem pengajaran kita masih jalan di tempat. Sampai kini, siswa masih ditempatkan sebagai seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan sementara gurunya dianggap mengetahui segala-galanya. Siswa hanya ditempatkan sebagai ember penampung yang pasif untuk senantiasa menerima kucuran air pelajaran yang melelahkan dan kadang tidak bermanfaat Karena tidak menyentuh realitas sosial yang dihadapinya.
Dalam Pedagogy of the Opressed-nya Paulo Freire menyebut model pendidikan seperti ini sebagai banking eduction. Model pendidikan yang tidak kritis yang diarahakan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Siswa dibawa kealam ilusi pendidikan untuk asyik didalamnya mengotak-atik normativitas yang sering jauh dari realitas kehidupan sehari-hari. Al hasil, menurut Freire, pendidikan seperti arena pertarungan antara penindas (guru) dan tertindas (siswa) yang hanya akan menghasilkan apa yang disebutnya dengan "kebudayaan diam" yang melekat padanya ketidaksadaran historis (historical anesthesia). Disinilah terjadi kolonialisasi.
Meskipun Freire dikritik terlalu mendikotomi antara penindas dan tertindas yang ditengarai banyak pihak sudah tidak relevan lagi. Menurut saya meski dengan bentuk yang berbeda kolonialisasi itu hingga kini terjadi. Kita bisa melihat dari pendekatan Foucault berkaitan dengan geneologi pengetahuannya. Dengan ungkapan terkenalnya Foucault mengatakan:"the will to know the will to power". Aritinya; setelah tahu dan pengetahuan itu dibuat, ditransformasikan tanpa daya kritis akan menjadi hal yang menguasai atau menjajah.
Dalam konteks ini, bila siswa tidak diajarkan untuk kritis atau setidaknya diberi kebebasan untuk berdialog mengutarakan pengalaman sosialnya, bagaimana mungkin akan muncul siswa yang sadar dan kritis. Indoktrinasi terjadi dan kekerasan simbol menjadi hal yang sangat mungkin. Bila ini menjadi kenyataan, maka teori Juques Lacan-lah yang mengatakan bahwa manusia semakin besar semakin tidak sadar. Dan teori Simund Frued yang menegaskan bahwa semakin besar manusia semakin sadar runtuh. Pendidikan kemudian lebih tampak sebagai penjara daripada sebagai rumah kedua. Didalamnya penuh aturan yang menyesakan dengan sedikit kelonggaran dan kebebasan. Hasilnya, eksistensi manusia menjadi sangat tercerabut.
Model pendidikan seperti ini tentu saja tidak sesuai dengan arah utama pendidikan yang seharusnya memberikan upaya pemberian peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan potensi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Kegiatan pendidikan sebisa mungkin seharusnya menghindarkan dari perihal indokrinasi. Pendidikan seharusnya membebaskan dan memerdekakan. Karena kebebasan dan kemerdekaan yang beretika dalam islam pun merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia yang lahir ke dunia.
Bagaimana menjadikan pendidikan yang membebaskan? Pertama-tama harus diketahui bahwa pendidikan kaitannya dengan realitas sosial tidak ada yang netral. Pengelolaan penididikan dimanapun itu selalu terkait dengan pelaku pendidikan yang juga bagian dari realitas sosial. Konstruksi pendidikan pun akhirnya tidak muncul begitu saja. Sebagaimana disebukan di atas, pendidikan berdiri di atas paradigma yang dipakai.
Untuk itu dalam merubah konsruksi pendidikan yang mengekang sekarang ini diperlukan pembongkaran paradigma terlebih dahulu untuk kemudian merekonsruksinya. Saya kira alat analisis Jacques Derrida tentang dekonsruksi dapat diterapkan di sini. Dalam berbagai karyanya derrida menandaskan perlunya pembongkaran semua teks. Teks apapun, termasuk pendidikan. Pendidikan yang telah lekat di dalamnya konservatisme dan kapitalisme-liberalisme perlu dibongkar dan dijungkir balikan. Bila yang tainya guru menjadi icon satu-satunya dan paling berpengaruh dan modal-persaingan bebas menjadi panglima, maka kini-mengikuti Derrida-harus di balik murid yang semestinya menjadi icon dan masyarakat terpinggirkan menjadi panglima.
Cukupkah sampai di sini? Jawabannya: Tidak. Karena bila demikian halnya, sama saja terjadi ketimpangan dimana guru menjadi tidak berharga dan modal serta kompetisi menjadi tidak berguna sama sekali. Padahal keduanya juga elemen penting yang membentuk tatanan dalam prosesi pendidikan. Untuk mengatasinya Derrida melanjutkan. Setelah membongkar dan mebalikan yang berguna untuk mengetahui sisi lain secara komprehensif maka selanjutnya diperlukan konstruksi ulang atau yang sering kita sebut rekonstuksi dengan memberi alternatif pada keimpangan itu agar bisa berjalan dengan sejajar.
Bila dikontekskan dalam prosesi pendidikan dari Analisa Derrida ini kita mendapakan seharusnya guru dan murid diposisikan sebagai partnership. Meskipun guru mempunyai pengetahuan tinggi tetap ia harus menghargai siswanya. Jurgen Habermas menandaskan agar adanya dialog antar keduanya bahkan dalam perkara apa pun.
Ini pula yang dilakukan pertama kali oleh Paulo Freire. Pendidikan menurutnya haruslah membuat anak didik sadar siapa dirinya dan bagaimana hubungan dirinya dengan dunia luarnya. Untuknya, pendidik dan siswa ditempatkan sama-sama sebagai subjek yang bersifat dialogis. Termasuk dalam menunjukan realitas sebenarnya tentang kondisi sosial. Karena bagi Freire pendidikan sejatinya untuk penyadaran akan kondisi keterjajahan untuk kemudian melakukan perubahan sosial. Freire yakin bila anak didik sudah sadar akan dirinya dan hubungannya dengan realitas sosialnya ia akan melakukan perubahan di lingkungannya unuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Tampaklah di sini Freire termasuk golongan kritisisme/rekonstruksionisme dalam ideologi pendidikan yang memandang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya rekonstruksi sosial. Mereka menghendaki adanya perubahan struktur sosial, ekonomi, politik maupun pendidikan melalui pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai wahana transformasi ide menuju tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi.
Berkaitan dengan sistem kapitalisme-liberalisme dalam pendidikan Freire tidak menutup mata. Bagi Freire pendidikan dalam semua segi harus berpihak pada kaum yang tertindak. Ini sejalan dengan paradigma pendidikan dalam islam dimana pendidikan adalah hak semua orang. Semua muslim dituntut untuk berpendidikan. Iulah mengapa dalam surat al-Mujadalah orang yang berilmu mendapat derajat lebih. Maka, apa pun bentuknya, entah itu BHP atau yang lainnya yang menutup atau menghalangi semua kalangan (miskin/kaya) tidak bisa berpendidikan tidak bisa dibenarkan.
B.A. Risakotta menjelaskan pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan ini dengan sepuluh ponter penting; Pertama, pendidikan seharusnya berdasarkan komitmen yang berpihak kepada orang miskin. Kedua, pendidikan harus kritis terhadap status quo. Ketiga, pendidikan harus mampu membangunkan kesadaran akan masalah sosial. Keempat, pendidikan harus mampu mengangkat persoalan perjuangan kelas. Kelima, pendidikan seharusnya bersifat dialogis yang menghargai pengalaman pelajar. Keenam, pendidikan harus menghormati perbedaan pendapat. Ketujuh, pendidikan harus mampu menrasformasikan masalah-masalah global. Kedelapan, pendidikan untuk pembebasan. Kesembilan, pendidikan kreatif. Dan, kesepuluh, pendidikan yang dijalankan berdasarkan iman, pengharapan dan kasih sayang.
Cukupkah kita mendasarkan logika pendidikan kita pada Freire dan memakai analisanya pada Derrida. Sebagai seorang muslim tentu belumlah cukup. Menurut saya islam mendasarkan konsep pendidikannya pada dua tugas utama sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Meskipun konsep pendidikan Freire mendekati namun tidak terdapat tr ansendesnsi dalam konsepsinya. Dalam islam pendidikan tidak muncul sebagai rekayasa sisial melainkan juga sebagai bagian iman (transendensi) penghambaan kepada dzat yang maha sempurna yaitu Allah SWT. Untuk itu, paradigma yang dipakai adalah humanisme-teosentris.
Dalam kerangka inilah pendidikan islam mestinya bersifat integral komprehensif dan moral-etik. Ia tidak mendasarkan hanya pada asumsi realitas sosial berupa komodernan, kemiskinan, dsb melainkan juga sebagai tuntutan moral-etik sebagai seorang muslim yang tujuan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Untuk itu, dalam praktik pendidikan islam idak hanya dialogis misalnya melainkan juga unsur dialogis itu di dasarkan atas kewajiban seorang muslim yang harus menghormati orang lain. Memanusiakan sesama manusia.
Akhirnya, paradigma pendidikan yang semula berdiri kokoh diantara kubangan konservatisme dan liberalme-kapitalisme harus diubah (direkonstruksi) menjadi pendidikan kritis-dialogis yang membebaskan dari segala penjajahan baik itu melalui sistem maupun model pengajarannya. Tanpa itu semua penidikan akan sama seperti gedung pengasingan para durjana yaitu penjara. Kita harus keluar dari konsepsi itu dan kembali dengan tawaran revolusi pemikiran pendidikan yang membebaskan, memerdekakan, memihak pada kaum tertindas demi terciptanya masyarakat madani yang telah diurai secara singkat di atas.
Daftar Pustaka
Http://npsn.jardiknas.org/cont/data_statistik/index.php. Diakses 08 februari 2008.
Basis No:07-08/56/2007
_______, No: 01-02/50/2001
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIRPRESS, 1993.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosenris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonsruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.
Paulo Freire, Pendidikan Kaum tertindas, alih bahasa oleh:Tim redaksi asosiasi pemandu latihan (utomo dananjaya, Mansor Fakih, Roem Topatimasang, dan Jimly Asshidiqie), Jakarta: LP3ES, 1985.
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, cet. Ke-4, alih bahasa: Agung Prihantoro, Fuad Arif Purdiaranto, Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2007.
Yasraf A. Piliang, Transpoliika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.